Bukan
penjelasannya yang kurang jelas, tapi dianya sendiri yang tidak bisa memahami.
Persoalan filsafat hanya ada 2, yaitu apa yang engkau pikirkan. sebodoh-bodoh
orang adalah yang merasa mengetahui padahal sesungguhnya ia tidak tahu.
Sebenar-benar orang adalah tidak mampu menjelaskan sesuatu kepada seseorang.
Misalnya : sulitnya mengungkapkan cinta. Berfilsafat itu adalah olah pikir yang
reflektif. Hidup dibagi dua : tataran atas berupa olah pikir, tataran bawah
adalah pengalaman. Sekarang kita umurnya 21 tahun, Pak Marsigit umurnya 50
tahun. Perbedaan umurnya sedikit sekali, yaitu 30 tahun. Jika ditambah 1000
tahun.
Apakah ada
berfikir yang tidak pakai pengalaman?
Setiap kita
pasti takut dengan singa. Banyak sekali pikiran yang tidak berdasar pengalaman.
Contoh saja, di Amerika ada orang yang dengan sengaja menjatuhkan diri dari
kereta gantung ke kandang singa. Tujuannya adalah untuk mencari pengalaman
langsung bagaimana berinteraksi dengan singa. Bisa dikatakan dia adalah orang
terbaik jika menulis buku tentang singa karena ia mempunyai pengalaman langsung
bagaimana berintarksi dengan singa.
Apakah ada
pengalaman yang tidak pakai berfikir?
Jawabannya ya
banyak sekali, misal kita mencari pengalaman dengan kucing. Kita mengajak
kucing ke Parangtritis, mengajak kucing untuk merasakan asinnya air pantai,
mengajak kucing untuk pulang, dan sebagainya. Hal ini merupakan contoh
pengalaman yang tidak menggunakan pikiran. Itulah sebenarnya berfilsafat. Jika
pertanyaan kita mengapa, maka hal ini
menunjukkan refleksi.
Bagaimana
mengembalikan pikiran kita agar tidak terpengaruh orang lain?
Cara yang paling
bagus adalah dengan berinteraksi. Keseimbangan berpikir, keseimbangan hidup
didasarkan pada pola pikir kita dan interaksi dengan orang lain. Tidak ada
hidup tanpa pengaruh orang lain. Bahkan, seorang filosof pun terpengaruh oleh
orang lain. Hidup adalah timbal balik. Analoginya, tidak ada aor laut yang
tidak terpengaruh oleh air sungai. Jadi, orang yang tidak mau berpikir
sebenarnya adalah orang yang tidak peduli dengan dirinya, ibarat air laut yang
tidak peduli dengan airnya. Ia tidak bisa mengidentifikasi jenis air apa yang
berada di sekitar dirinya. Sama halnya dengan berfilsafat, yang melatih kita
untuk berfikir tentang keadaan di sekitar kita. Apa yang menyebabkan kita
menjadi seperti ini. Hal ini yang akan menguatkan diri kita untuk tetap
berobjek pada porosnya, yaitu merefleksikan diri tentang keadaan sekitar. Bisa
jadi, kebiasaan di setiap lingkungan berbeda-beda karena keadaan dan norma yang
berbeda pula. Yang dimaksud orisinal mengembalikan pikiran kita adalah purism
(kemurnian). Misal : agar kita mampu berdoa dengan khusyuk, maka jauhkan
pikiran kita dari hal-hal yang tidak berguna. Melupakan sejenak yang tidak
berguna dengan doa-doa kita. Konsentrasi itu dimurnikan/ difokuskan. Contoh
lain, dalam kondisi mau melahirkan malah ditanya makan sore lauk apa, besok mau
ada tamu mau masak apa, seperti halnya kita yang sekarang sedang kuliah, supaya
kita cepat sampai tujuan, yaitu lulus, maka kita juga harus fokus. Tidak boleh
menyepelekan dan melupakan skripsi, atau melah disibukkan dengan hal yang tidak
penting. Misal sudah saatnya skripsi malah pulang kampung karena terpilih
menjadi ketua RT. Kita harus mengerahkan segenap tenaga dan pikiran untuk
segera menyelesaikan skripsi.
Apa sebenarnya
yang diungkapkan oleh filsafat?
Objek filsafat
adalah yang ada dan yang mungkin ada. Yang mungkin ada adalah yang berada dalam
pikiran. Hidup ini sebenarnya mengubah dari yang mungkin ada menjadi ada. Yang
ada adalah sekarang, sedangkan yang belum terjadi berarti yang masih mungkin.
Apakah berfilsafat
selalu mengacu kepada tokoh?
Tiadalah
berfilsafat kalau tidak mengacu kepada tokoh. Yang direfleksikan adalah hasil
pikirannya, bukan siapa tokohnya. Yang direfleksikan adalah pemikirannya.
Apalah arti sebuah nama.
Bagaimana cara
mengembangkan pola pikir dalam berfilsafat?
Caranya adalah
menggunakan metode hidup. Perhatikan segala aktivitas kehidupan ini, baik itu
makro, maupun mikro. Baik itu kecil, maupun besar. Karena kita menempati bumi,
maka kita tidak akan menempati tempat yang sama dalam suatu kurun waktu. Hal
ini dilakukan untuk keselamatan manusia juga. Sehigga spiritual sangat
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan hidup ini. Orang yang hidup tanpa spiritual
bagaikan mayat yang berjalan, karena ketika mereka sedang sibuk, tidak ada doa
dalam hatinya. Menurut penuturan spiritualis. Jadi, mau tidak mau kita harus
berdoa secara terus menerus. Sedangkan kalau yang bicara filosof adalah orang
mati yang berjalan karena di tengah kesibukan mereka, mereka tidak memikirkan
pengalamannya. Jadi, pola pikir berfilsafat adalah ikhtiar yang terus-menerus.
Maka berfikir adalah pengalamanmu dan pengalamanmu adalah berfikirmu.
Keseimbangan secara filsafat adalah seimbang antara pengalaman dan berfikir,
sedangkan seimbang secara spiritual berarti seimbang antara dunia dan akhirat.
Bisa menggapai harmoni merupakan sebuah tujuan. Kita sekarang dalam
keseimbangan juga karena ada keseimbangan dalam tubuh kita. Ada doa dalam
setiap nafas kita. Maka penyakit berfilsafat adalah tidak seimbang. Keadaan
dimana melanggar aturan atau melanggar norma.
0 komentar:
Posting Komentar